ketika bertanya kepada anak didik tentang pelaaran yang paling sulit bahkan dibenci, pasti sebagian besar menjawab pelajaran MATEMATIKA. betul? ^_^
hal ini dirasakan juga oleh saya ketika mengajar matematika di sekolah dasar, ada kemungkinan anak didik saya membenci pelajaran matematika bahkan sampai ke guru matematikanya hehe....... alhamdulillah saya dipertemukan dengan program SM-3T dan mendapat bonus PPG (Pendidikan Profesi Guru).
dari sini saya mendapat wawasan baru tentang Pembelajaran, khususnya matematika yang dianggap sulit menjadi Kasmaran (sepperti orang jatuh cinta,hehe)
baik kawans smoga tulisan ini dapat mengubah kita menjadi Kasmaran Bermatematika^_^
oleh: Iwan Pranoto
Dimuat di Kompas, 26 Desember 2013
Sekitar 10 tahun lampau kami beberapa dosen matematika (Hendra
Gunawan, Koko Martono, dan saya) diminta oleh Balitbang Kemdikbud untuk
mengkaji hasil tes Programme for International Student Assessment
(PISA) 2000. Walau hasil siswa RI dalam PISA pertama itu di peringkat
ke-39 dari 41 negara peserta – hanya lebih baik dari Peru dan Brazil –
namun sama sekali tak mengejutkan kami. Ini karena kami menyadari soal
di PISA menguji kemampuan bernalar. Malah hasil itu mendukung pendapat
awal kami bahwa pendidikan matematika di tingkat dasar dan menengah tak
tanggap beradaptasi dengan kehidupan modern.
Memang keilmuan matematika tetap sama, tetapi perannya dalam
kehidupan telah berubah drastis. Siswa di negara lain belajar kecakapan
bermatematika dengan mempertimbangkan ketersediaan teknologi dalam
kehidupan. Sementara pendidikan matematika di tanah air ini masih
membayangkan kehidupan sebelum ada kalkulator dan komputer. Di kita
masih menekankan pada ketrampilan rutin berpikir tingkat rendah semata
seperti menghafal rumus dan mematuhi prosedur berhitung yang
dirumit-rumitkan. Pada saat yang sama, pembangunan ketrampilan tak rutin
seperti berpikir kritis yang tak dapat dikerjakan mesin justru
diabaikan.
Di Balitbang pada tanggal 14 Januari 2004, kami sampaikan hasil kajian terhadap PISA 2000 dan rekomendasinya.
Rekomendasinya memuat antara lain peningkatan profesionalisme guru
matematika dan membangun budaya bernalar di kelas. Namun, setelah satu
dekade lewat, dari data PISA 2012 dan Trends in International Mathematics and Science Study
TIMSS 2011, mutu pembelajaran matematika di republik ini tak kunjung
membaik. Di tahun 2000, saat Brazil di bawah Indonesia, sekarang sudah
melejit ke atas. Jika kendala geografi Indonesia yang dipersalahkan,
apakah Brazil tak lebih ganas lagi keadaan negerinya?
Makna Hasil
Memang, informasi peringkat RI di PISA atau TIMSS menghebohkan, namun
sesungguhnya tak guna memasalahkannya. Dari pemeringkatan tersebut tak
dapat diketahui jenis kelemahan siswa kita. Lebih berguna jika melakukan
kajian soal per soal, agar diketahui kecakapan apa yang kurang dan
perlu dibenahi.
Kecuali itu, juga perlu dicatat bahwa semua tes pendidikan punya
kekurangan dan kelebihan, termasuk PISA dan TIMSS, walaupun sudah
diimplementasikan dengan taraf profesionalitas yang begitu tinggi [1].
Tak pernah ada tes pendidikan yang sempurna dapat mengukur ragam
dimensi sekaligus. Apalagi Ujian Nasional yang disiapkan dengan tak
profesional dan diimplementasikan dengan penuh kekacauan.
Dua tes internasional itu berbeda, walau sama-sama menguji
matematika. PISA menekankan penerapan, sedang TIMSS lebih pada
penguasaan konsep. Dari dua hasil tes ini, dapat ditafsirkan dua pesan
yang berbeda ranah, namun saling melengkapi.
Hasil buruk di PISA tidak serta-merta berarti kurikulum kita buruk.
Juga tak dapat disimpulkan bahwa konsep yang diujikan belum diajarkan.
Sebenarnya, Standar Isi, maupun KTSP sudah mencakup semua konsep di
PISA, sebelum kelas 8. Tes PISA mengukur kemampuan siswa mengembangkan
kecakapan yang diperoleh di kelas, dengan menerapkannya dalam situasi
sehari-hari. Artinya, hasil PISA buruk ini mengatakan bahwa siswa kita
lemah dalam menerapkan apa yang dipelajari di sekolah pada konteks yang
baru.
Namun, berbeda dengan PISA, dari hasil buruk TIMSS memang dapat
diartikan kurikulum matematika kita perlu perbaikan. Dan, rekomendasi
penguatan kurikulum yang lebih menekankan pernalaran dan pemecahan
masalah ini sudah direkomendasikan antara lain oleh Frederick K.S.
Leung dari University of Hong Kong pada tanggal 21 Desember 2006. Namun,
menurut Ahmad Muchlis, bahkan Kurikulum 2013 serta buku-ajarnya pun
belum juga menggarap kecakapan berpikir tingkat tinggi (Media Indonesia, 16 Des 2013).
Pokok masalahnya bukan karena pengetahuan belum diajarkan, tetapi
justru karena fokus pada pemindahan pengetahuan dan mengabaikan
pembangunan kecakapan berpikir deduktif. Ini dikarenakan kurangnya
penguasaan guru pada kecakapan bermatematika. Dampaknya, pembelajaran
tak dapat menyediakan pengalaman kebermatematikaan yang penuh makna,
tetapi sekedar penyampaian fakta nirmakna. Akibatnya, tak akan ada
penumbuhan kecakapan bernalar.
Ini ditambah lagi, sistem UN matematika yang menekankan kecakapan
berhitung rumit tetapi berpikir tingkat rendah. Ini membuat siswa kita
mengejar kecakapan usang yang sangat berbeda dibanding kawan-kawan
sebayanya di negara lain. Di negara lain, bahkan di banyak negara Asia,
pendidikan matematikanya sudah memberikan pengalaman bermatematika yang
melibatkan berpikir tingkat tinggi, tetapi dengan perhitungan sederhana.
Karena, pikirnya, toh di kehidupan modern ini sudah tersedia kalkulator
yang murah untuk menghitung, namun mesin belum mampu menggantikan
manusia dalam bernalar. Komputer belum mampu mengerjakan pemodelan
matematika, seperti menyarikan masalah matematika dari soal cerita.
Membenahi
Sesungguhnya untuk membenahinya yang paling strategis adalah merombak
kurikulum program penyiapan guru matematika serta program pengembangan
profesinya. Porsi pendalaman konsep matematika dalam persiapan guru
matematika di S1 dan juga S2 harus dilipatgandakan. Yang utama, berbagai
program yang dirancang perguruan tinggi harus mampu membangun kasmaran
bermatematika para guru.
Kasmaran bermatematika adalah keadaan saat seseorang melakukan
kegiatan yang melibatkan matematika secara total. Ego, lingkungan, dan
waktu melebur luruh ke dalam kegiatannya. Oleh pakar psikologi positif
Csíkszentmihályi Mihály keadaan ini diistilahkan sebagai flow.
Khusus dalam bermatematika, keadaan ini ditandai tumbuhnya sikap
“keusilan” matematika, seperti ketagihan mengutak-utik masalah
matematika, ingin tahu, skeptis sekaligus gigih, dan juga memiliki
tanggungjawab belajar. Guru yang kasmaran bermatematika akan menyuburkan
budaya bernalar di dalam kelas dan sukacita akan kembali menyeruak di
dalam pembelajaran matematika.
Pembenahan pendidikan bagi guru matematika tak dapat digantikan
dengan berbagai proyek mercusuar. Sebaiknya Indonesia menyimak strategi
yang diterapkan Estonia dan Vietnam. Dua negara itu melakukan pembenahan
pendidikan dengan prinsip yang mendasar kokoh. Keberhasilan upaya dua
negara itu telah diindikasikan di PISA 2012. Sementara Estonia berhasil
menyalip Finlandia, Vietnam menyalip Australia dan Inggris.
Program S2 Matematika untuk guru di Universitas Harvard percaya bahwa
guru matematika yang baik memiliki dua unsur utama: menguasai
matematika dan bergairah mengajar [2].
Di program S2 untuk guru matematika di ITB, hal ini jadi pegangan
utama. Menguasai matematika harus jadi dasar utama seorang guru
matematika. Tentunya, apa gunanya seseorang menguasai cara mengajar
menyanyi, padahal dirinya belum piawai bernyanyi. Apa gunanya seseorang
menguasai cara mengajar Bahasa Inggris, padahal dirinya belum cakap
berbahasa Inggris. Nantinya, malah dapat terjadi seseorang mampu
mengajarkan dengan baik matematika yang salah.
Sebagai tambahan rekomendasi, sebaiknya pemerintah mendatang
merancang program pengembangan profesi guru matematika yang memanfaatkan
teknologi kuliah daring terbuka. Tampaknya hanya ini satu-satunya cara
kita dapat memberikan pelatihan bagi guru-guru di daerah terpencil dan
sulit dicapai. Harus diupayakan pelatihan guru berbasis ponsel cerdas, pocket-based training.
Para guru tak perlu meninggalkan sekolahnya untuk mengembangkan
profesinya. Dengan cara ini, pelatihan dapat dilakukan secara rutin,
bahkan jika guru membutuhkan bantuan dapat langsung mendiskusikan secara
waktu nyata dengan guru lain serta pakar langsung. Cara ini pun yang
paling murah. Hanya sekarang Depkominfo yang harus meyakinkan
pembangunan infrastruktur Internet terwujudkan segera.
Paradigma melenceng seperti belajar dan mengajar untuk ujian, apalagi
untuk UN yang bermutu rendah itu, harus dihentikan. Jika kita
menjunjung pendidikan karakter, logikanya paradigma tadi digeser menjadi sukacita belajar.
Ancaman
Jika kecakapan bermatematika siswa kita rendah terus, bangsa ini akan
menanggung beban berat. Lupakan saja segala impian inovasi teknologi,
perkembangan industri, perkembangan pengetahuan ilmiah, dan kekuatan
ekonomi. Era ini telah menunjukkan bahwa ketrampilan warga, ketersediaan
lapangan pekerjaan, dan pembangunan negara saling terkait erat.
Namun, bukan itu saja. Yang lebih menyeramkan justru terancamnya
keselarasan sosial yang didasarkan pada intelektualitas. Bukankah
kerusuhan sosial, perilaku merusak, sikap tak menghargai perbedaan, dan
ketakpatuhan pada hukum yang terjadi sekarang hanya mungkin karena
rendahnya budaya bernalar? Berbagai ketakselarasan sosial sekarang ini
adalah denda yang harus kita bayar karena telah mengasingkan pendidikan
bernalar begitu lama. Dapat dibayangkan bagaimana ancaman kacaunya
keadaan tahun 2045 nanti, saat jumlah warga berusia produktif sangat
banyak tetapi mereka tak punya ketrampilan sekaligus tak tersedia
lowongan pekerjaan bagi mereka, jika strategi pendidikan nasional tak
kunjung tepat sasaran. Jenis pekerjaan berkecakapan-rendah-bergaji-cukup
telah semakin langka.
Sudah terjadi, ada negara yang dahulu digadang-gadang dikatakan akan memiliki demographic dividend (bonus demografi), tetapi karena tak terdidik baik, sekarang jumlah pengangguran dan tingkat kejahatan malah tinggi [3].
Bonus demografi bukan lah kekuatan, tetapi baru peluang. Dan, jika tak
mampu menyediakan pendidikan bermutu, ini malah dapat menjadi ancaman
demografi.
Kehidupan bangsa yang cerdas membutuhkan suburnya budaya bernalar. Dan, selain melalui membaca buku seperti yang diutarakan Tati D. Wardi (Kompas, 14 Des 2013), pembelajaran matematika di pendidikan dasar sangat strategis guna menyuburkan budaya bernalar.
Oleh karenanya, guru matematika sekarang memainkan peran besar dalam
merekacipta kehidupan bangsa di masa depan. Melalui pemikiran, keringat,
sekaligus air mata guru, kita mengharapkan terwujudnya kehidupan bangsa
yang cerdas.
sumber: bincang edukasi
Ridwan in Facebook
Sabtu, 15 Februari 2014
KASMARAN BERMATEMATIKA
06.09
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KLIK SAJA :)
Postingan Populer
-
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( R P P) Satuan Pendidikan : Sekolah Dasar Negeri Satu Mata Pelajaran ...
-
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) SatuanPendidikan : SekolahDasar X Mata Pelajaran : 1. PKn ...
-
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN ( R P P) Satuan Pendidikan : Sekolah Dasar Negeri 7 Mata Pelajaran ...
-
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) SatuanPendidikan : SekolahDasar X Mata Pelajaran : 1. PKn ...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peranan seorang guru dalam proses belajar-mengajar harus mampu mengembangkan pe...
-
1. Hakikat Membaca Pada hakekatnya membaca merupakan proses mem a hami dan merekonstruksi makna yang terkandung dalam bahan bacaan. Pesa...
-
assalamualaikum sahabat.... selamat malam :) saya mau berbagi corat-coretan saya nih ^^ tentang LKS Pengurangan Bilangan Pecahan, mohon s...
-
BAB I Pendahuluan Dalam pembukaan undang - undang Dasar 1945 alenia IV menyatakan bahwa salah satu tujuan negara Republik Indon...
-
MAU PUNYA NUPTK? YUUK KITA BACA DULU PENJELASANNYA ^_^ Penjelasan Jenis Formulir dan Dokumen untuk Verval NUPTK Untuk melakukan proses ...
-
Di era reformasi ini banyak bermunculan ide-ide baru...... atau bahkan sebuah kenyataan baru yang berseberangan dengan apa yang kita ketahu...
0 komentar:
Posting Komentar